Alam sejatinya memang menyimpan misteri yang sulit ditebak. Cuaca, musim, dan iklim menjadi hal sulit untuk diprediksi. Jatah masuk ke musim kemarau, nyatanya hujan deras masih mengguyur di sebagian wilayah. Selain itu, bulan kering pun tahun ini diyakini akan berlangsung lebih panjang dari biasanya.
Salah satu jalan menyiasati kondisi tersebut adalah dari sisi pemilihan varietas benih. Para produsen benih, baik dari pemerintah maupun swasta, kini berlomba menciptakan benih unggul. Tapi bagi pelaku usaha, jenis dan tipe benih apa yang kiranya tahan kondisi iklim seperti sekarang? Dan yang tak kalah paling penting, di lokasi mana saja benih itu mampu tumbuh optimal?
Umur Pendek
kondisi iklim seperti sekarang sedikit banyak mengancam produksi padi. Terutama pada areal penanaman sawah dan sawah tadah hujan. “Sebagian besar produksi beras dari areal sawah dan sawah tadah hujan. Lahan kering tak terlalu mengkhawatirkan,”
Untuk menghindari puso, ada lima faktor yang wajib diperhatikan petani sebelum menanam. Pertama adalah pemilihan varietas dan penggunaan benih berkualitas. Lalu, memperhatikan kesesuaian benih dengan kondisi wilayahnya. Terakhir, teknologi budidaya dan kemampuan petani dalam mengadopsi teknologi tersebut.
Dirjen Tanaman Pangan, Kementan, menyarankan, pelaku usaha memilih varietas berumur pendek alias genjah. Menurutnya, padi jenis ini cocok dikembangkan pada lahan tadah hujan. Selain dapat mengantisipasi perubahan iklim, varietas genjah juga akan menambah jumlah siklus tanam petani. Alhasil, produksi beras akan berbalik meningkat.
“Di areal tadah hujan biasanya petani menanam sekali. Kalau pakai padi umur pendek, bisa dua kali tanam. Sedangkan lahan sawah yang tiga kali tanam, jadi bisa tanam empat kali setahun,” selain berumur genjah, varietas padi yang dipilih juga mesti tahan hama. Pasalnya, dalam kondisi pancaroba dan musim kemarau yang sebentar lagi tiba, hama macam wereng sangat merajarela.
Varietas Unggul Baru
Setidaknya sudah berhasil menghasilkan 13 varietas Unggul Baru (VUB) jenis Inpari. Selain berumur genjah dan toleran kekeringan, Inpari juga relatif tahan serangan hama. Malahan Inpari 11, 12 dan 13, berumur sangat genjah, yaitu hanya 96 hari. “Inpari itu cespleng. Standar rasa nasinya Ciherang. Umurnya pendek tapi produktivitas tinggi,”
mengenai deskripsi Inpari. Varietas Inpari 1 misalnya, berumur tanam 108 hari dengan produksi 7,32 ton GKG per ha. Varietas ini tahan wereng cokelat biotipe 2 dan agak tahan terhadap wereng cokelat biotipe 3. Tekstur nasinya pulen dan cocok ditanam pada lahan sawah dataran rendah sampai ketinggian 500 m dpl.
Inpari 3, umurnya 110 hari dengan hasil panen 6 ton per ha. Tekstur nasinya sedang dan agak tahan terhadap wereng batang cokelat biotipe 1,2, tapi agak rentan terhadap biotipe 3. Inpari 3 cocok pada lahan irigasi dengan ketinggian maksimal 600 m dpl.
Sedangkan daerah kering dan tadah hujan, petani bisa memilih pagi gogo alias Inpago. Varietas Inpago generasi terbaru malah bersifat amfibi. Artinya, dirakit bagi lahan kering, tapi dapat juga ditanam di sawah. “Hasil panennya sampai 6 ton. Biasanya ‘kan padi gogo hanya 3 ton. Berarti ini dahsyat ‘kan,”
Beberapa varietas padi gogo unggul yang telah dilepas, misalnya Situ Patenggang, Batu Tegi, Situ Bagendit, dan Limboto. Masing-masing memiliki keunggulan tersendiri. Situ Patenggang dengan rasa nasi sedang, memiliki potensi panen 6 ton per ha. Situ Bagendit, rasa nasinya pulen sama seperti Batu Tegi. “Hasil penemuan BB Padi.
Hibrida dan GMO
Selain memproduksi VUB, juga tengah menggenjot pengembangan benih hibrida. Setidaknya ada 5 varietas hibrida keluaran SHS, yaitu SL8 SHS, WM4SHS, WM1SHS, BOS1SHS, dan DG1SHS. Ia mengakui, sampai kini tingkat penggunaan hibrida di kalangan petani Indonesia terbilang rendah. Berdasar perhitungannya, ketersediaan benih hibrida tak lebih dari 5% dari sekitar 320 ribu ton kebutuhan benih nasional per tahun. Padahal hibrida digadangkan mampu memberikan panen 30% lebih banyak ketimbang nonhibrida. “Kami berupaya terus memperbaiki produk, termasuk memperbaiki ketahanan hibrida terhadap serangan hama penyakit,”
penggunaan benih hibrida nasional bisa mencapai 10% dalam 3—4 tahun ke depan. Tahun ini, produksi hibrida SHS diperkirakan 6.400 ton dan tahun depan diupayakan mencapai 9.600 ton. Dan pada 2013, diyakini akan mampu menembus angka 16.000 ton. Saat ditanya keunggulan produknya, “Padi kami produktivitasnya tinggi, genjah, tahan penyakit dibanding hibrida lain. Rasa pulen dan cocok dengan selera lidah orang Indonesia. Cocok ditanam di sawah dan layak komersial,
Selain benih hibrida, pilihan lain adalah benih transgenik (genetically modified organism/GMO). yang tengah bekerjasama dengan mitra dari luar negeri mengembangkan benih manipulasi genetika ini. Rencananya, benih GMO akan diarahkan untuk mempunyai kelebihan dalam efisiensi pemupukan dan resisten penyakitblast. Namun lantaran masih besarnya pro-kontra dan belum siapnya aturan dari pemerintah, jadi benih transgenik belum bisa dilepas secara nasional.